3. LATAR BELAKANG PENYEBARAN TARI
TOPENG CIREBON
Meluasnya budaya Tari Topeng Cirebon menurut Masunah dan Karwati disebabkan oleh peranan seniman yang mengadakan pertunjukan bebarang/barangan. Mereka pergi bekelana berhari-hari lamanya. Perjalanan ditempuh mulai dari berjalan kaki, menggunakan gerobak dorong, hingga kendaraan roda empat. Kepindahan seniman-seniman itu didasari atas tuntutan ekonomi yang sangat sulit. Keahlian yang mereka kuasai hanyalah mempergelarkan kesenian yang dimiliki (Masunah dan Karwati, 2003: 25). Mereka tidak cukup mempunyai lahan yang baik untuk tempat tinggal maupun lahan untuk garapan pertanian. Jangankan untuk rumah, untuk makan sehari-hari pun sangat sulit. Keadaan musim sangat mempengaruhi pola kehidupan seniman tari topeng. Musim paceklik adalah musim yang sangat sulit untuk mendapatkan pangan. Keadaan ini mendorong seniman untuk berusaha mengadakan pertunjukan secara keliling, mencari orang yang bersedia menonton mereka. Saat barangan adalah saat dimana mereka harus pergi jauh ke luar daerah asal dan mungkin tidak kembali. Para seniman tari topeng seringkali mengadakan pertunjukan barangan dan pada akhirnya sering tidak kembali ke tempat semula melainkan memilih hidup dan bertempat tinggal di tempat yang baru. Di tempat baru ini akhirnya mereka menetap sekaligus mengembangkan pola-pola yang semula mereka anut di daerah asal yang disesuaikan dengan kondisi/situasi daerah atau yang menurut Suanda disebut sebagai local colour setempat. Tari Topeng Cirebon mempunyai wujud baku secara teknik dan penampilan, mempunyai isi dan makna yang terkait dengan fungsi dan perandalam masyarakat. Topeng selain mempuyai perbendaharaan teknis yang mantap mau tidak mau mengalami dinamika baru, mengalami perubahan dan perkembangan dari topeng semula. Perubahan ini meliputi perubahan fungsional dan bentuk sebagai akibat kebutuhan dan kreatifitas manusia pelakunya. Tidak jarang, dalam wilayah baru yang ditempati, muncul beragam gaya/pola penari atau pun pertunjukan, akan tetapi pada arti tempat, arti wilayah juga lokasi yang dihuni seniman tari topeng. Menurut Suanda perbedayaan gaya akibat migrasi seniman akan semakin beragam dan sulit dibedakan lagi bila disertai perkawinan di antara seniman yang berbeda daerah atau pun gaya petunjukan. Para seniman yang mengembara, sering dalam perjalanan atau di daerah yang baru dihuni melakukan pernikahan dengan seniman dari kelompok berbeda gaya yang lain. Ketika mereka berumah tangga, gaya pertunjukan dari kedua insan yang berbeda membentuk semacam dialog atau peleburan dimana terjadi penyesuaian satu sama lain (Suanda, 1995: 54). Dalam proses semacam itu, keduanya akan saling memberi dan menerima dan akan tampak yang satu lebih dominan disbanding dengan yang lainnya. Hal inilah yang terkadang menjadi masalah di dalam membicarakan pola umum Tari Topeng Cirebon. Lebih lanjut Suanda mengemukakan bahwa: Hal yang paling sukar dalam membicarakan pola umum Tari Topeng Cirebon adalah bahwa tiap daerah, dan bahkan penari punya gaya atau pola yang berbeda. Pemetaan gaya atas dasar wilayah pun sering tidak dimungkinkan karena banyak seniman yang pindah dari suatu daerah yang gayanya berbeda (Suanda, 1995:2). Perpindahan seniman dari satu tempat ke tempat lain mengakibatkan kesenian bersifat heterogen. Kesepakatan garap dan peristilahan tidak dipandang sebagai hal yang penting. Mereka lebih banyak bersifat terbuka dan luwes menyadari lingkungan. Musik yang digunakan dalam suatu acara hajatan akan berbeda dengan musik yang dipakai barangan. Musik barangan tampak lebih sederhana dibandingkan dengan musik hajatan, begitu pun dalam hal tarian. Masalah penyingkatan rangkaian gerak tarian dan waktu pertunjukan adalah hal yang sering dilakukan oleh mereka. Termasuk di dalamnya susunan tarian. Demikian juga dengan peristilahan, keadaan ini banyak menjadikan keanekaragaman istilah. Ada istilah berbeda digunakan untuk sesuatu yang sama atau sebaliknya hal yang sama memiliki beberapa istilah. Dalam kondisi seperti itu terjadi unsur-unsur pertunjukan yang hilang atau diganti dengan hal baru. Adanya unsur-unsur yang berkurang atau bertambah tersebut menjadikan Tari Topeng Cirebon bersifat kompleks. Pada masa awal kemunculannya Tari Topeng Cirebon dipertunjukan di keraton. Penari dan dalangnya merupakan seniman-seniman yang berasal dari desa. Para seniman yang awalnya turut serta dalam kegiatan kebudayaan di keraton akhirnya keluar karena keraton tidak sanggup membiayai kegiatan kebudayaan, karena kekuasasan telah beralih ke tangan penjajah. Akhirnya para seniman kembali ke desa dan mengembangkan kesenian tari topeng di daerahnya masing-masing. Setelah beberapa periode, kesenian tari topeng pun menjadi milik lingkungan masyarakat desa yang diwariskan secara turun-temurun dan tersebar di beberapa tempat daerah Cirebon seperti, Losari, Slangit, Gegesik, Kalianyar, Palimanan, Majalengka, dan Indramayu.
Tari topeng meski tersebar di beberapa daerah tetapi secara umum bentuk fisiknya tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok dalam hal itu terdapat ukurannya. Pada aspek gerak tariannya atau pun penerapan nomor tariannya tiap daerah memiliki warna dan corak yang berdiri sendiri dengan ciri khas daerahnya masing-masing. Perbedaan tersebut diakibatkan gerak penarinya atau pun dari versi dalangnya yang menjadikan ciri khas daearahnya masing-masing. Menurut Elang Komarahadi (44) Pembina kesenian Keraton Kacerbonan menyebutkan, Karena awalnya satu bibit, walaupun berbeda tariannya kesenian Tari Topeng Cirebon mempunyai satu misi yaitu menerangkan karakteristik manusia. Bentuk topeng atau penutup mukanya secara umum setiap daerah sama karena ada pakem dalam pembuatannya. Kalau pun ada sedikit perbedaan, itu disebabkan perbedaan kemampuan pengrajin dalam teknik mengukir pembuatan topengnya atau pun kretivitas dari pengrajinnya. (Wawancara dengan Elang Komarahadi, September 2010)
Di Gegesik kesenian tari topeng sangat popular, hal ini terbukti dengan banyaknya kelompok tari topeng atau sanggar-sanggar tari topeng. Sanggar-sanggar tersebut diantaranya yaitu Sanggar Panji Sumirang pimpinan Ibu Karnati, Sanggar Among Prawa pimpinan Hj. Juni, Sanggar Sungging Prabangkara Pimpinan Parastika, dan Sanggar Langen Purwa pimpinan H. Mansyur. Dalam Tari Tari Topeng Gegesik dikenal lima topeng pokok yang ditarikan secara berurutan sesuai dengan karakternya masing-masing. Kelima topeng pokok itu adalah Panji, Samba atau Pamindo, Rumyang, Patih Tumenggung dan Klana. Selain kelima topeng itu ada pula topeng bodor yang ditarikan disertai lawak yaitu Jinggananom, Pentul, Tembem (Enyo), Jungkring dan Aki-aki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar