Sabtu, 14 Desember 2019

SANGGAR PURBASARI-KHAS TARI TOPENG CIREBON


4. SERBA-SERBI KHAS TARI TOPENG CIREBON

     Penari berperan untuk mengatur musiknya terutama pola-pola ritme kendang. Namun kegiatan tidak keluar dari aturan-aturan tradisi yang ada yaitu bahwa setiap tarian topeng mempunyai koreografi yang berdasarkan tingkatan. Tempo gending seperti, dodoan, unggah tengah (sedang), dan deder (cepat). Dalam hal ini Masunah mengulas sebagai berikut. Aturan-aturan trasidisi Tari Topeng Cirebon antara lain setiap tarian memiliki struktur koreografi yang berdasarkan tingkatan tempo gending. Tingkatan tersebut terdiri dari: tempo lambat, tempo sedang dan tempo cepat. Istilah umum yang dipergunakan oleh seniman Cirebon berkaitan dengan tingkatan tempo tersebut adalah dodoan, unggah tengah, dan deder (Masunah, 1997: 32).

     Dari semua itu gerakan tari yang ada dalam Tari Topeng Cirebon khususnya gaya Gegesik. Topeng Panji sebenarnya adalah inti dari gerakangerakan tari topeng lainnya. Hanya saja dalam tarian pokok lain, gerakan merupakan bumbu yang sekaligus juga merupakan ciri khas dari pertunjukan tersebut. Dengan kata lain, bahwa setiap gerak dalam Tari Topeng Cirebon ada yang mengandung makna tertentu atau disebut gerak maknawi, istilah lainnya adalah gesture. Tetapi ada juga yang tidak mempunyai makna (improvisasi penari). 1. Pra Pertunjukan Untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai struktur tarian Tari Topeng Gegesik ini, penulis mendatangi sebuah sanggar seni yang bernama Panji Sumirang pimpinan Ibu Karnati, dalang topeng yang terkenal dari Gegesik. Sebelumnya sanggar ini dipimpin oleh ayahnya yaitu Bapak Sujana, setelah beliau meninggal kemudian diwariskan kepada putrinya yaitu Ibu Karnati.  Seperti lazimnya penyajian topeng hajatan atau dinaan, istilah topeng disini bukan menunjukan pada penutup muka, tetapi pada bentuk pertunjukan tari topeng. Hal pertama yang harus dilakukan oleh dalang topeng menurut Ibu Karnati yaitu menyiapkan sesajen. Sesajen tersebut dipersiapkan oleh yang empunya hajat, yang antara lain terdiri atas nasi uduk atau tumpeng, kendi air yang ditutupi oleh telur ayam kampung, bubur nasi merah dan putih, beras, bakakak ayam, kelapa rujak, pisang, wedang jahe, kopi, bajigur dan pembakaran kemenyan atau disebut parukuyan (wawancara dengan Karnati, September 2010). Selain itu, ada beberapa jenis makanan atau buah-buahan maupun minuman segar yang digantung memanjang ke samping antara dua tiang tenda belandongan sebagai hiasan tepat di atas kotak. Menurut Ibu Karnati itu menandakan angin-angin, artinya segala keinginan dan nafsu manusia (wawancara dengan Karnati, September 2010). Pertunjukan dimulai dengan tatalu lagu permulaan yang tanpa taritariannya yang bermaksud untuk menarik perhatian penonton. Alunan musik yang cepat dan semakin keras ditujukan bagi masyarakat setempat agar menjadi tahu kalau di daerah tersebut akan dilakukan pertunjukan topeng. Setelah berlangsung lima menit kemudian tempo irama beralih menjadi lebih tenang. Sebelum dan selama tatalu, dalang komat-kamit mengucapkan mantera sambil membakar kemenyan dan dengan sesajen yang telah dipersiapkan di depannya. Pada saat pembacaan mantera dalang nyambat Sunan Panggung yang dipercayai sebagi guru besar dan pelindung dalang agar minta diberkahi keselamatan dan kesuksesan dalam pertunjukan tersebut.

     Dalam salah satu tulisannya Murgiyanto mengutip keterangan mengenai pertunjukan topeng sebagai berikut. Berdasarkan tradisi Jawa, pertunjukan topeng itu diciptakan oleh Sunan Kalijaga, Putra Bupati Tuban yang sangat gemar akan kesenian dan akhirnya menjadi salah seorang wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Ketika pusat pemerintahan berpindah dari Jawa Timur ke Jawa Tengah dan para raja memeluk Islam, pertunjukan topeng terlempar dari dalam istana dan kembali dipelihara oleh rakyat jelata yang belum sepenuhnya melepaskan kepercayaan asli mereka. Dengan melihat kenyataan ini, Sunan Kalijaga memanfaatkan pertunjukan topeng (dan wayang kulit) yang digemari rakyat sebagai alat memberikan penerangan dan penyebaran agama Islam kepada rakyat banyak itu. Di Cirebon para dalang (penari) topeng menganggap dirinya keturunan Pangeran atau Sunan Panggung, putra Sunan Kalijaga yang bukan saja menaruh perhatian terhadap seni topeng tetapi juga menarikannya sendiri (Murgiyanto, 1980: 52-53) Nama Pangeran Panggung juga terdapat dalam mantera (doa) saat dalang hendak menarikan Topeng Panji, sebagi berikut: Kula titip maring Adulmuthalib Cuan lamun ora dijaga bendung Kenang bendunge Allah Ta ala Allahuma Bisrokhman Mil suci saking umat Kanjeng Nabi Muhammad Allhuma Sotiamin Nyuwun ning Pangeran Bonang Pangeran Panggung minta diraksa Sajabane sejerone pangguung, Artinya: Saya titip kepada Abdulmutholib Awas kalau tidak dijaga celaka terkena murka Allah swt Allah Yang Maha Pengasih Yang suci dari umat Baginda Nabi Muhammad Ya Allah Minta kepada Pangeran Bonang Pangeran Panggung minta dijaga di luar dan di luar panggung (Suanda, 1989: 76) Pada saat tatalu selain bertujuan untuk menarik perhatian penonton tetapi juga pemberitahuan bahwa para dedemit (roh baik dan roh jahat) semua berdatangan ke tempat pertunjukan. Selama tatalu roh baik seperti Sunan Panggung dapat mengusir roh jahat supaya pertunjukan berjalan dengan lancar. Menurut H. Mansyur orang-orang baru berdatangan untuk melihat pertunjukan setelah selesai tatalu, kalau tidak mereka bisa diganggu oleh para dedemit itu (wawancara dengan H. Mansyur, September 2010). Namun, ada pula yang beranggapan bahwa tidak enak untuk datang segera, karena pepatah goong-clok, setelah bunyi goong yang pertama dipukul terus saja duduk di tempat termasuk pantangan. Sebelum dalang topeng muncul, gamelan tetap dibunyikan secara perlahan-lahan. Setelah itu tampak beberapa orang yang menari-nari di atas arena pertunjukan. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya dalang topeng keluar dari kamar rias lalu berjalan menuju kotak dan duduk di sana. Sekilas tampak Ibu Karnati begitu gagah denga kostum yang dipakainya, ia memakai baju biru terbuat dari kain satin dan kain batik mega mendung khas Cirebon. Pakaian tersebut dipakai sedemikian rupa hingga menutupi kakinya tetapi tidak mengurangi kebebasan geraknya. Sementara itu suara gamelan berhenti, tampak sang dalang bercakap-cakap sebentar dengan para nayaganya sambil mengenakan sobrah di kepalanya. Kemudian pertunjukan pun segera dimulai. Pertunjukan tersebut dilakukan di arena yang luasnya sekitar 10 m 2. Hal itu cukup untuk sebuah sanggar seni Tari Topeng Gegesik yang diberi nama Langen Purwa. Bangunan ini ditata sedemikian rupa khusus untuk belajar tari topeng sekaligus untuk pertunjukannya. Dilengkapi dengan kamar rias, tempat parkir, arena pertunjukan yang sekaligus tempat berlatih tari dan ruang lainnya yang semuanya belum selesai dibangun. Di sana tampak pula di tengah area ada sebuah kotak dan di atasnya ada tekes atau sobrah untuk penutup kepala dengan rawis terjuntai ke bawah. 2. Pertunjukan Lagu Kembang Sungsang mulai ditabuh, dalang memulai tariannya dengan duduk di depan kotak dan membelakangi penonton. Dengan kepala menekung atau telungkup tangan dilipat di atas kotak yang sekaligus penyangga. Pada saat ini dalang membacakan mantera untuk keselamatan pertunjukan dan sebagainya. Sikap yang sebenarnya adalah semedi dan pada saat ini penonton hanya meilhat panggung penari yang ditutupi oleh kerodong, setelah selesai dalang mulai berdiri perlahan. Gerak demi gerak berlangsung tanpa ada suatu penekanan yang berarti. Sekalipun suara gamelan baegitu bergemuruh namun tidak mempengaruhi tariannya yang tetap halus dan lembut. Tampak dalang melakukan gerak-gerik tariannya dengan sangat hati-hati dan perlahan, hingga berkesan seperti diam. Di sini tampak keseriusan dalang saat dia belum mengenakan kedok, sangat tenang dan khidmat, terlihat dari tatapan mata dan wajah yang menunduk, begitu dingin. Pada saat penari mengenakan kedok, seorang nayaga melakukan monolog atau disebut nyandra dan istilah Cirebonnya adalah Mertawara. Isi dari mertawara ini diantaranya menyebutkan, Jangan gugup, telah datang seorang sinatria yang bernama Raden Panji,. dan seterusnya. Menurut H. Mansyur mertawara ini merupakan kesamaan suatu adat masyarakat di daerah bila ada bayi yang baru lahir selalu di gebrag (dikageti dengan membunyikan apa saja) dengan tujuan agar jantungnya sehat dan tidak cepat kaget (wawancara dengan H. Mansyur, September 2010). Gamelan mulai naik lagu Lontang Besar, gerak dan ngola tangan dengan hitungan satu gong, bergantian kiri kanan, kemudian gamelan naik lagi dengn lagu Bata Rubuh, gerak gleong dan cantel dalam hitungan satu gong. Kemudian diteruskan gerak tumpang tali seblak soder lalu ngola sikut. Sekalipun gamelan terus naik irama dan kecepatannya, namun hal itu tidak mempengaruhi gerak dalang yang tetap dalam kelembutan dan kehalusan. Kemudian gamelan naik lagi lagu Owet-owetan, gerak berkisar pada gerak ngola tangan, lembean, temple jamang, ngola bahu, dan sesekali dalang membetulkan kain. Setelah itu dilanjutkan lagu Deder atau lagu Singa Kawung Kering dan gerak-geriknya ngola sumping, ngola sikut, silang sumping yang dikahiri oleh lontang kembar lalu penarinya membuka kedoknya.

     Menurut H. Mansyur selama berlangsungnya tarian ini hanya beberapa orang penonton saja yang kelihatannya benar-benar menyimak. Hal itu pun terbatas pada orang tua saja, ada beberapa anak-anak yang duduk lesehan di depan terlihat serius menonton tarian ini. Terlebih lagi pada saat ini jumlah penonton belum begitu banyak dan biasanya penonton akan bertambah pada saat tarian yang kedua muncul, yaitu Topeng Pamindo (Wawancara H. Mansyur, September 2010). Pasca Pertunjukan Setelah dalang membuka kedok ini berarti tarian topeng Panji telah selesai. Kemudian dalang kembali menuju kotak, duduk sebentar, membuka sobrahnya kembali dan menyiapkan kedok ayang akan dipakai. Hampir selalu seperti itu sampai akhir tarian Topeng Klana. Selama itu dalang topeng tidak merasa lelah setiap menari lagi, seakan-akan tenaganya baru kembali. Padahal, setiap tarian memerlukan stamina yang bagus untuk bisa tampil prima apalagi biasanya kelima tarian pokok ini ditarikan sepanjang hari. Lama tariannya dari pagi hingga sore hari dengan lama tiap tarian hamper memakan waktu dua jam, khususnya Panji. Begitu pun yang terlihat pada Karnati, saat dia masih menari atau di atas arena pertunjukan, dia begitu bersemangat, tidak terlihat pegal atau kehabisan tenaga. Setelah dalang mengganti kostum tarinya dan kembali berkumpul bersama penulis, dia mengaku bahwa, rasa capek itu ada setelah dia selesai menari, setelah ganti kostum (wawancara dengan Hj. Juni, September 2010). Hal tersebut dikarenakan mantera yang dibacakannya saat pertama dia menari. Selain itu untuk menjadi dalang topeng harus melewati proses maseuk diri, yaitu proses seperti puasa tidak makan makanan yang dibungkus oleh daun dan tidak boleh banyak tidur dan mengosongkan perut sambil terus berlatih yang kesemuanya itu bertujuan agar sukses di atas arena pertunjukan (wawancara Hj. Juni, September 2010).

     Aspek Musik-musik pengiring adalah sajian komposisi musik yang difungsikan sebagai iringan tari. Setiap topeng berbeda komposisi musiknya, sesuai dengan struktur dan karakteristik tarian yang dimainkan. Untuk mengiringi tari topeng gamelan yang digunakan dalah gamelan yang berlaras Prawa. Pada waktu tari topeng baru dikembangkan para Wali Sanga dan juga digunakan sebagai media dakwah penyebaran agama Islam, menurut Nawi (2003: 5) gamelan yang digunakan sebanyak 6 jenis yaitu: 1. Saron satu disebut penurut 2. Saron dua disebut penimbal 3. Bonang 4. Kendang 5. Engklong 6. Gong Pada masa-masa selanjutnya masih menurut Nawi (2003: 5) gamelan mengiringi tari topeng tersebut dilengkapi dengan:
1. Penerus
2. Jengglong
3. Kebluk atau Tutukan
4. Gender
5. Suling
6. Kemanak
7. Beri atau Kecrek
8. Klenang
9. Peking atau Titil
10. Kemyang atau Rincik Makna
dari jumlah gamelan tersebut adalah jumlah gamelan yang enam yaitu Rukun Iman Islam. Sedangkan jumlah gamelan yang sepuluh adalah disesuaikan dengan arah mata angin, Timur, Barat, Utara, Selatan, Teggara, Barat Daya, Barat Laut, Timur Laut dan ditambah Atas dan Bawah (Langit dan Bumi). Menurut dalang H. Mansyur pada masa sekarang ini gamelan yang digunakan untuk mengiringi Tari Tari Topeng Gegesik bukan hanya berlaras Prawa, namun juga digunakan gamelan yang berlaras Pelog (wawancara dengan H. Mansyur, 5 Oktober 2010). Perbedaan laras Prawa dan Pelog terdapat pada patut-nya. Pada gamelan Prawa berisi patut laras, patut miring, patut sanga, patut sepuluh dan patut panjrang. Sedangkan pada gamelan Pelog disamping kelima patut tersebut ditambah dengan patut bungur.

     Dalam pertunjukan Tari Topeng Gegesik, tata letak setiap wanditra gamelan ditempatkan dan diatur secara khusus oleh para pangrawit (nayaga). Kotak topeng selalu disimpan di tengah-tengah panggung dan dijadikan titik pusat. Di sebelah kiri kanan kotak ditempatkan beri dan klenang, sedangkan keprak atau kecrek dikaitkan ke bibir kotak topeng sebelah kanan. Di belakang kotak topeng ditempatkan berturut-turut, kendang, saron pembarep, saron penimbal, dan kedemung, serta gong. Wanditra (alat gamelan) ini ditempatkan berdekatan sedemikian rupa untuk memudahkan komunikasi antarpenabuh. Pengendang perlu dekat dengan penyaron sebagai pembawa lagu. Demikian pula para penabuh lainnya yang berada di belakangnya, yaitu titil, bonang, dan jenglong. Sesuatu yang khusus adalah arah hadap penabuh gong yang senantiasa berlawanan dengan arah penabuh lainnya. Ia duduk sendiri mengahadap ke arah belakang panggung, sementara yang lainnya ke depan panggung. Keunikan arah hadap penabuh gong itu salah satunya terkait dengan fungsi dia untuk mengawasi stuasi yang terjadi di belakang panggung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar