Jumat, 03 Januari 2020

Mari mengenal sosok Maestro hebat dibalik lestarinya Tari Topeng Cirebon

Hallo sahabat literasi... Kembali lagi sama aku hehe.  Kali ini aku mau ngasih tau nihh. Ternyata dibalik lestari nya tari topeng, ada pencipta-pencipta hebat dibalik nya lohh. Atau masyarakat biasa menyebutnya "Maestro". Nahh betul bangett, kali ini aku mau mengajak sahabat literasi untuk lebih mengenal dengan salah satu Maestro hebat Cirebon nihh. Penasaran bagaimanakah sosok di balik nya?? langsung aja yukk scrool ke bawah yaa.. Selamat membaca sahabat literasi... 

8. BELAJAR DARI MAESTRO TARI TOPENG CIREBON



     Setiap kali ada seseorang yang hingga akhir hayatnya tetap kukuh memilih dunianya menjadi bagian dari "ritus kehidupan", setiap kali ada seseorang yang selama hayatnya meletakkan hampir seluruh kreativitasnya menjadi representasi dari segenap "totalitas kehidupan", setiap kali pula seseorang itu, tanpa pamrih, dengan tulus mengajarkan serta merelakan dirinya hanya untuk kesenian dan berdiri sebagai seniman yang dengan karya-karyanya sebuah bangsa, di antara sekian karya yang lain, ditahbiskan berbudaya dan memiliki spirit peradaban. Adakah kita bisa meletakkan kembali penghormatan dengan secercah ketulusan yang sama?Saya kira, kita --siapa pun kita pada konteks maknanya yang diperluas dalam posisi sebagai pejabat negara, politisi, pengusaha atau apa pun--kesulitan untuk menjawab esensi pertanyaan tadi dengan baik. Bahkan ada berbagai pertanyaan serupa yang sama sekali kita tidak bisa memberi jawaban tepat. Seperti halnya pertanyaan berikut, apakah peran seniman memang senantiasa berada di luar hiruk-pikuk kebijakan negara? Apakah karya-karya seni tidak menjadi bagian signifikan dalam subsistem wacana kebudayaan suatu pemerintahan? Seniman, terlebih pada mereka yang memilih genre seni tradisi lengkap dengan membawa khazanah lokal yang menjadi bagian substantif di dalamnya,  tampak mengalami dilema di sana-sini dalam menghadapi perubahan zaman. Sejumlah seni tradisi yang merupakan "ikon" dan "akar"  dalam konstruk budaya tradisional masyarakat, kita tahu, berada pada posisi marginal dan feriferal. Dan, ironisnya, justru seni-seni tradisi yang semula menjadi simbol dalam penyeimbang (equilibrium) seni-seni yang dinilaisebagai sentral (adiluhung).

Kematian yang Sunyi
     Sujana Arja, atau akrab dipanggil Mang Jana, adalah maestro penaritopeng yang Senin (10/4/2006) baru saja wafat dengan usia di atas 70 tahun. Suatu kematian yang sunyi yang menyisakan jejak panjang silsilah dari salahsatu dinamika, stilistika, maupun estetika tari topeng Cirebon: bagaimana taritopeng "gaya Slangit" membentuk dirinya dan mempertahankan eksistensinya sekaligus. Bahkan dengan keteguhan seperti itu, ia tidak peduli apakahnegaranya memberi perhatian terhadap salah satu warisan seni tradisi bangsanya atau tidak; apakah pemerintah daerahnya memahami atau tidak, bagaimana seharusnya menyusun grand strategy apa yang diklaim para birokrat sebagai "pelestarian" seni tradisi. 
     Sujana dengan kehidupan yang sangat sederhana mampu bertahan untuk tidak bergeser sedikit pun dari pengabdian hampir seluruh gerak dirinya pada khazanah seni tradisi tari topeng yang diwariskan keluarga besar maestro penari topeng Arja. Sejak 1973, Sujana berlatih, mengajarkan lima wanda taritopeng dan menempati sanggar tari Panji Asmara yang berada di pengujung utara desa Slangit yang kiri-kanannya masih berupa semak perdu, rumpun bambu, jalan setapak, dan hamparan sawah. Kecuali menari, ia tidak pernah memilih profesi selainnya, apalagi sekadar untuk menyelesaikan yang primer dan sekunder dalam kehidupannya selama ini. Sujana telah melanjutkan proses regenerasi dan genealogi dari cikal- bakal tari topeng Cirebon. Bersama dengan beberapa tokoh tari topeng segenerasinya seperti, Sawitri (gaya Losari), Tarwi (Kreo), Sudji dan Dasih(gaya Palimanan) mengukuhkan tari topeng Cirebon dengan gaya masing-masing. Sehingga meninggalnya almarhum Sujana, menandai berakhirnya generasi kedua tari topeng Cirebon yang kini, mau tidak mau, diteruskan anak-cucu mereka. Tradisi tari topeng seperti seni-seni tradisi lain, mungkin agak mirip dengan perguruan shaolin yang memiliki keniscayaan untuk melahirkan sejenis "pendekar" sebagai generasi penerus yang eksploratif, andal, kukuh, teguh dalam menerima seluruh estafet dari dalam pepakem seni tradisi tersebut. Setidaknya, jika generasi tari topeng Slangit pasca-Sujana tidak segera menata berbagai instrumen dalam perjalanannya ke depan akan menghadapi tantangan budaya global yang mereduksi pandangan publiknya sedemian rupa. Dikhawatirkan tari topeng Cirebon yang tumbuh dengan latar serta beragama gaya yang bertolak dari eksplorasi maupun improvisasi tokohnya akan kehilangan generasi (lost generation). Sehingga beberapa gaya tari topeng Cirebon yang pernah tumbuh pada beberapa daerah dengan beragam gaya,sebut saja Kalianyar, Gegesik, Palimanan, Babakan, Kreo, dan Gujeg, tampak "ditinggalkan" generasi penerusnya. Tari topeng "gaya Slangit" --diambil dari muasal nama desa tempat proses kreatif keluarga besar maestro tari topeng Arja (ayahanda dan pendahulu Sujana) sebagai Generasi Pertama-- menjadi tonggak penting bagisembilan anak-anaknya; Sutija, Suwarti, Suparta, Sujaya, Sujana, Rohmani, Roisi, Durman, dan Keni, yang semuanya berhasil menjadi penari topeng. Meski dari ke sembilan anaknya, Sujana yang kelak tampil dan dikenal publik luas sebagai seorang maestro. Sujana memulai proses kreatifnya untuk menjadi maestro sejak berusia 10 tahun yang mengikuti
bebarang (ngamen) bersama ayahnya. Kemudian atas prakarsa Pangeran Patih Ardja dari Kesultanan Kanoman, sekitar tahun 1940-an, keduanya tampil dalam berbagai perhelatan ritual tradisi dilingkungan keraton. Pada usia 17, Sujana dilepaskan secara mandiri untuk menerima tanggapan (order hajatan) dan melakukan bebarang hingga ke luar daerah (Indramayu, Majalengka Sumedang, Bandung, Garut, Cianjur, Banten)sebagai bagian dari proses manunggaling lelaku (menyatukan jiwa-ragadengan filosofi tari topeng dalam konteks kehidupan) --yang tidak dapat ditempuh melalui intellectual exercises dari wilayah dan norma-norma akademis. Karena itu, kita yang pernah menyaksikan pementasan Sujana, Sawitri, Sudji, Dasih atau Mimi Rasinah maestro penari topeng dari Pekandangan Indramayu tampak kekuatan tarian yang melampaui fase-fase "batasnalar" dari kelincahan gerak penari yang memasuki usia uzur. 
     Energitas dan kreativitas menyatu dengan spiritualitas ruh penciptaan. Begitu juga totalitasdan sinergitas menemukan ruang batin: di mana ekstase menyusun makna nya yang transenden dan tidak lagi samar-samar tersembunyi. Hampir para maestro yang membuka ruang batinnya untuk selalu berada pada kosmos pergulatan kreatif akan memperlihatkan puncak dimensi penciptaan ruhani yang dahsyat dan menakjubkan. Dan, Mang Jana dalam sebuah percakapan kecil dengan penulis, menolak persepsi yang semata mengacu pada asumsi akademis yang menilai pencapaian transenden dapat dimanipulasi melalui pemahaman sains, tanpa memasuki proses logosentrisme yang menjadikan seniman berada dalam fase pemahaman empirik-kognitif (ngangsu kaweruh). Dalam perspektif inilah, Sujana hendak menegaskan bahwa proseskreatif yang hanya kukuh sebatas asumsi-asumsi akademis, berakhir dalam pemahaman formalnya sendiri: tari topeng akan lebih tampak sebagai pola- pola gerakan ritmis yang penuh citraan (images) gerak tubuh dalam filosofi makna dan tata aturan bunyi gamelan. Namun kehilangan ruh pencitraannya sendiri, yang menyebabkan gerakan-gerakan tarian tampak ringan dan mekanik. Melalui proses panjang
manunggaling lelaku dan ngangsu kaweruh, seorang penari topeng akan menemukan titik pencitraan berbagai dimensi penciptaan yang bersenyawa dengan totalitas jiwa-raga. 

Pribadi yang Tulus
     Dalam kurun waktu cukup panjang dan berliku, Sujana Arja, empu taritopeng Slangit itu, telah menyiratkan dirinya menjadi pribadi yang tulus. Ia bukan saja berdiri sebagai seorang maestro, melainkan juga guru untuk  banyak muridnya (dalam dan luar negeri) yang sungguh-sungguh telah mengabdikan serta mengabadikan kehidupannya pada seni tradisi. Meski, ia tahu, dengan sikap penuh-seluruh, terlebih lagi ia sadari tanpa jaminan hari tua dimanapun termasuk pemerintan seorang seniman justru akan terus berada dalam suasana "mencipta".


Gimana nih sahabat literasi? Hebat bukan? Nah kesimpulan dari artikel di atas, kita sebagai generasi penerus bangsa, apalagi pribumi kota udang sendiri, ayoo lanjutkan dan lestarikan tradisi seni tari topeng yang telah diwariskan para nenek moyang kita. Dengan niat dan semangat berlatih, kita semua pasti bisa mengenalkan dan membawa tradisi seni tari topeng ini hingga kanca internasional. Terus belajar ya!! 
Untuk pemaparan kali ini, sekian dulu yaa. Semoga bermanfaat untuk menambah wawasan sahabat literasi dimanapun berada. Oh iya, mohon maaf jikalau ada padanan kata yang kurang tepat karena masih proses belajar hehe.. Saran dan komentar nya ditunggu yaa. Terimakasih dan sampai jumpa di halaman aku selanjutnya.
Jangan lupa senyum hari ini:)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar